Sunday, 11 December 2016

Bahasa Kias

Assalamualaikum wr.wb. insya Allah kuliah puisi hari ini tentang bahasa kias. ini materinya, silakan baca terlebih dulu….Bahasa Kias
Waluyo (1991:83) mendefinisikan bahasa kias atau bahasa figuratif sebagai bahasa yang digunakan penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung dalam mengungkapkan makna. Adanya bahasa kias menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 1987:62).
Menurut Perrine, bahasa kias dipandang efektif untuk menyatakan apa yang dimaksud penyair karena beberaapa hal, yait sebagai berikut:
a. bahasa kias mampu menghasilkan kesenangan imajinatif;
b. bahasa kias adalah cara  untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca;
c. bahasa kias adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair;
d. bahasa kias adalah cara untuk mengonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa singkat (Waluyo, 1991:83)
Bahasa kias banyak jenisnya, tetapi menurut Altenbernd dari bermacam jenis bahasa kiasaan itu, sebenarnya ada satu pertalian yang bersifat umum, yaitu mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Pradopo, 1987:62). Dari kesamaan yang umum tersebut jelaslah bahwa keberadaan bahasa kias di dalam puisi mempunyai muatan memperkuat makna yang terkandung dalam puisi itu sendiri sekaligus meninggikan nilai-nilai estetisnya sehingga semua yang disebutkan oleh Perrine terbukti secara nyata.
Bahasa kias pada MDDM berfungsi sebagai bentuk interaksi antara manusia dengan alam sebagai sesama makhluk. Bentuk interaksi tersebut memunculkan jenis-jenis bahasa kias pada MDDM. Misalnya interaksi antara manusia dengan alam dalam suatu perbandingan atau persamaan dapat memunculkan bahasa kias simile dan metafora. Interaksi antara manusia dengan alam dalam suatu kesamaan identitas kemakhlukan dapat memunculkan bahasa kias personifikasi. Selain itu, terdapat pula interaksi antara manusia dengan alam  dalam suatu sindiran-sindiran tertentu yang kemudian memunculkan bahasa kias ironi.
A. perbandingan (simile)
Perbandingan atau simile ialah bahasa kias yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata  pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang lain. Dalam sajak MDDM bahasa kias perbandingan antaranya terdapat pada sajak nomor “23” berikut:

23
Dari segala yang terbang
kupu-kupu ialah yang kuning
dirahmati beludru
Kadang-kadang ia melepas sayap
Karena bunga-bunga
seperti kebijaksanaan
gugur bersama angin
hanya yang bersayap
sanggup menangkap
Dan engkau

Dalam sajak tersebut terdapat perbandingan antara kupu-kupu dengan  kebijaksanaan lewat kata pembanding seperti/karena bunga-bunga/ seperti kebijaksanaan/. Perbandingan itu menyiratkan adanya suatu interaksi antara sifat kemanusiaan dengan bunga-bunga. Kebijaksanaan pada sajak ini digambarkan selalu gugur bersama angin /seperi kebijaksanaan/gugur bersama angin/.  Hal ini menandakan bahwa sifat kebijaksanaan tidaklah selalu stabil pada diri manusia. Begitupun dengan bunga-bunga, dalam sajak ini dijadikan sebab bagi keberadaan kupu-kupu yang kadang-kadang melepaskan sayapnya. Sifat kupu-kupu pun tidak stabil karena bunga-bunga selalu gugur bersama angin, walaupun kupu-kupu adaalh makhluk pilihan dari segala yang terbang karena bersifat kuning dan dirahmati beludru. Perbandingan itu menimbulkan sebuah amanat tentang pentingnya “sayap” karena “hanya yang bersayap sanggup menangkap”.
Setelah adanya perbandingan, pada larik terakhir dimunculkan sosok individu manusia sebagai engkau lirik. Engkau di sini diletakan di akhir bait yang  menandakan bahwa keberadaan engkau adalah sesuatu yang last but not least karena engkau di sini menunjukan pada seseorang yang sanggup menangkap /hanya yang bersayap/ sanggup menangkap/ dan engkau/. Berarti sosok engkau pada sajak ini adalah sosok seseorang yang telah makrifat. Seseorang yang telah memahami fenomena kehidupan dan fenomena alam sehingga sanggup menangkap kebijaksanan yang kadang gugur bersama angin.
Dari penjelsan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa kiass perbandingan dalam sajak “23” memiliki makna refleksi interaksi antara manusia (engkau) dengan alam yang disimbolkan dengan diksi-diksi alam binantang (kupu-kupu) dan tumbuhan (bunga-bunga)

b. Metafora
Metafora adalah bahasa kias seperti halnya perbandingan hanya tidak mempergunakan kata-kata  pembanding seperti bagai, laksana, sseperti, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker dalam Pradopo, 1987:66). Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (ssecondary term). Term pokok disebut juga tenor,term kedua disebut vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan yang kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya, ‘Bumi adalah perempuan jalang’: ‘Bumi’ adalah term pokok, sedangkan perempuan jalang adalah term kedua. Namun, dalam penggunaannya penyair seringkali langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok. Metafora semacam ini disebut metafora implisit.
Sajak Kuntowijoyo berikut ini adalah sajak yang didalamyaa terdapat bahasa kias metafora:
24
Awan tempat burung-burung singgah
menyambutmu sebagai tamu
sebagai fakir
engkau tak mengidamkan singgasana
Karena itu semesta
laut dari laut
adalah sahabat
Sebab
mereka  pun memuji Tuhan
Dan rendah

Pada sajak di atas semesta dan laut dari laut diibaratkan sebagai sahabat. Metaforaa  itu menimbulkan suatu refleksi interaksi yang bersifaat analogis antara manusia dengan alam. Keberadaan manusia yang diwakili oleh engkau lirik dalam sajak ini memunyai sifat tawadhu dan zuhud karena berada walaupun dalam kefakiran dia tidak mengidamkan singgasana  /sebagai fakir/engkau tak mengidamkaan singgasana/. Sifat engkau lirik ini disambut oleh awaan /awan tempat  burung-burung singgah/ menyambutmu sebagai tamu/ dan karena sifat itu pulaa semesta  menjadi sahabat. Analogi semesta sebagai sahabat disebabkan oleh sifat mereka yang juga selalu memuji Tuhan dan merendah seperti sifat engkau lirik/sebab/ mereka  memuji Tuhan/dan merendah/.
Dari penjelasan singkat tersebut, sajak “24” mengandung bahasa kias metafora yang bermakna refleksi antara manusia dan alam. Interaksi yang dilakukan itu adalah yang saling mendukung untuk mencapai kemakrifatan kepada Tuhan.
c. Personifikasi
Bahasa kias yang satu ini banyak digunakan oleh penyair dari dahulu sampai saat ini. Bahasa kias  personifikasi ini adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat  berbuat, berpikir, dan sebagainya  seperti manusia (Pradopo, 1987:75). Fungsi personifikasi ini adalah untuk menghidupkan penggambaran peristiwa.
Pada MDDM bahasa kias personifikasi menunjukan satu makna mendalam tentang kesamaan identitas kemakhlukan antara  manusia dengan alam. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah contoh personifikasi pada salah satu sajak MDDM.
40
Kusapa angin pagi di An Arbor
ditawarkannya kalau-kalau aku suka keliling kota
Hari itu mendung
dan ia berjanji sungguh-sungguh
takkan membiarkan aku kehujanan
Habis, kami berdua adalah ayat Tuhan
Pada sajak “40” penyair benar-benar menjadikan personifikasi sebagai inti daya ungkap puitisnya. Personifikasi itu diberikan pada angin di Ann Arbor.  Mula-mula angin pagi disapa oleh aku lirik, /Kusapa angin pagi di Ann Arbor/ --proses penyapaan ini adalah proses personifikasi tahap awal—kemudian pada larik kedua angin pagi merespon dengan akrab sapaan aku lirik dengan menawarkan pada aku lirik untuk keliling kota /ditawarkannya kalau-kalau aku suka keliling kota/. Hari pada saat itu mendung /hari itu mendung/, tetapi ia berjanji sungguh-sungguh takkan membiarkan aku lirik kehujanan /dan ia berjanji sungguh-sungguh/ takkan membiaarkan aku kehujanan/. Pada akhir bait, aku lirik menyimpulkan makna interaksinya dengan angin pagi di Ann Arbor dengan menyebutkan bahwa mereka berdua  adalah ayat Tuhan./habis, kami berdua adalah ayat Tuhan/.
Personifikasi pada sajak “40” itu secara  jelas dan lugas merupakan pertanda  pemaknaan akan kesamaan identitas antara manusia dan alam, sebagai ayat Tuhan. Dari kesamaan itu muncul suatu interaksi harmonis antara  keduanya. Interaksi harmonis ini menjadi aspek nada dalam sajak tersebut. Selain dari itu terdapat pula satu sifat yang mulia yang ditunjukan oleh angin pagi yaitu berupa  perlindungan  terhadap aku lirik pada saat terdapat kemungkinan hujan. Suatu sikap bersahabat  yang muncul disebabkan aku lirik juga  bersikap ramah terhadap angin pagi dengan cara menyapanya. Amanat yang diungkapkan penyair dalam sajak ini adalah harus ada simbiosis mutualistis antara manusia dengan alam karena  dua-duanya tidak lebih dari sekadar  ayat Tuhan.
d. Ironi
Ironi diturunkan dari kata eironeia penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kias, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena  ia menyampaikan impresi yang mengandung  pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu  mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga  sadar maksud yang disembunyikan dibalik rangkaian kata-katanya (Keraf, 1996:143).
Dalam sajak MDDM, jika diperhatikan secara saksama terdapat banyak bahasa kias ironi. Bahasa kias ironi pada sajak MDDM ini memiliki makna interaksi antara manusia dengan alam dalam hal saling mengingatkan dan saling menegur. Berikut ini salah satu sajak yang mengandung bahasa kias ironi.

47
Suatu hari kutemukan
Burung di sangkar  termenung terbungkam
Aku bertanya  dan dengan sedih dia mengatakan
Mereka yang melupakan Tuhan
Tak berhak mendengar  burung bernyanyi

Ironisme pada sajak “47” itu terdapat  pada ungkapan burung yang sedang termenung  membungkam dalam sangkarnya. Fenomena burung itu ditemukan aku lirik. Kemudian, aku lirik bertanya pada burung itu /aku bertanya dan dengan sedih dia mengatakan/, lalu jawab burung “mereka yang melupakan Tuhan tak berhak mendengar  burung bernyanyi.” Nilai ironi  pada sajak itu betul-betul tinggi karena jika aku lirik menyadari bahwa pernyataan burung itu ditujukan kepada dirinya maka aku lirik akan malu. Bukankah yang menemukan burung tersebut membungkam adalah aku lirik? Berarti, aku lirik termasuk kelompok (mereka) yang melupakan tuhan.
Dari bahasa kias ironi “47” didapatkan satu amanat bahwa sebenarnya fenomena alam yang dilihat  oleh manusia dapat dijadikan alat untuk intropeksi terhadap kesalahan. Dengan personifikasi yang berhasil, penyair membuat  suatu pola  hubungaan antarmanusia sebagai sesuatu yang harus dilandasi oleh saling nasehat-menasehati.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya semoga menginspirasi jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar dan dapatkan informasi terbaru di setiap postingan. Jangan lupa follow akun Instagram @efrideplin dan Twitter @efrideplin87 juga YouTube Efri Deplin. Terima kasih semoga menginspirasi.

| Designed by Colorlib