Tukang Kebun dan Pohon Asoka
Pagi-pagi sekali Pak Wahid sudah berada di tengah-tengah halaman rumah. Dia nampak sibuk dengan gunting di tangannya. Sudah tahu pasti dia sedang membersihkan ranting-ranting kecil yang mengganggu pemandangan bila menatap bunga-bunga di depan rumah. Jelas sekali dan nampak cekatan tangan lincah Pak Wahid melibas semak yang mengganggu. Tapi lihatlah di sana ada sebatang Pohon Asoka yang tinggi menjulang, bercabang lima semua batangnya sejajar tinggi dan subur sekali.
“Akan kuapakan asoka ini ya?” gumam Pak Wahid. Pohon Asoka merasa PeDe habis, bertubuh tinggi di tengah-tengah halaman tanpa bayang dari pohon lainnya dan paling satu dua kupu-kupu yang hinggap. “Bungaku tetap mekar di tiap cabang, tempatku juga lumayan bagus dan tepat, Insya Allah aku akan diberi pupuk agar lebih rindang”. Pikir Pohon Asoka.
Tanpa disadarinya, kelima pucuk dari cabang Pohon Asoka sudah jatuh ke tanah dalam hitungan detik. Serasa petir menyambar di siang bolong, Pohon Asoka merasa terkejut dan terperanjat. Mau berlari ia tak berkaki, mau berteriak dai tak bersuara takkan ada yang menolong. Pohon Asoka bingung, dia tidak mengerti mengapa Tukang Kebun berani-beraninya memotong dahan subur miliknya. Bukankah untuk menumbuhkan kelima dahan itu butuh perjuangan yang tidak mudah. Butuh perjuangan yang sangat panjang. Apalagi diterik mentari yang mneyengat di pagi hari seperti ini. “Dahan itu sangat kubutuhkan Pak”. Keluh Pohon Asoka dengan isakannya. “Bagaimana aku bisa makan dengan lahap kalau dahanku kau tumbangkan?” tambahnya lagi dalam hati.
Dua alam yang berbeda menjadikan aktifitas pagi ini menjadi alamiah terjadi antara si Tukang Kebun dan Pohon Asoka yang malang. Tak anyal, gunting yang dipegang Pak Wahid masih bersinar-sinar memantulkan cahaya pagi dan menyilaukan Pohon Asoka. Pak Wahid bergegas pergi ke dalam rumah istirahat sejenak karena pagi kemarau ini sangat melelahkan bekerja di halaman. Sejenak ia duduk di kursi rotan sambil minum segelas air putih dan memandangi Pohon Asoka yang kaku berserak di bawah pohon utamanya.
Sementara itu Pohon Asoka terus meratapi nasibnya hingga diujung musim.
Musimpun berganti, hujan semakin rapat. Pak Wahid si Tukang Kebun masih duduk di teras rumah, di kursih rotan tua menikmati secangkir teh hangat di pagi hari bersama majikannya. Mereka tersenyum-senyum melihat halaman rumah. “Andaikan kau biar Pohon Asoka itu meninggi, pastilah dia akan tumbang diterjang badai hujan, Pak Wahid”. Obrolan majikannya. Pak Wahid menunduk malu sambil melepas senyum kepuasan. “Lihatlah, dahan yang kau tanam di sampingnya kini bisa berkembang begitu pesat”. Tambah istrinya.
“Untunglah kau tebang cabangnya di musim kemarau, kalau tidak mungkin pohon itu akan mati kekeringan”. Tambah tuannya lagi. “Tidak tuan dan nyonya Pohon Asoka itu tidak akan kupotong lagi, kubiarkan saja ia meninggi di sepanjang desember dan januari”. Ungkap Pak Wahid. “Mengapa demikan?”. Jawab tuannya dengan rasa ingin tahu. “Waktu itu kurasa Pohon Asoka marah padaku, sekarang aku tak ingin ia marah lagi denganku, kubiarkan ia tumbuh di sepanjang musim penghujan”. Jawab si Tukang Kebun. “Oh.. iya saya mengerti”. Sela tuannya. “Kalau begitu kau buatlah rencana baik untuk musim depan”.
Pohon Asoka sangat girang bukan kepalang. Sayup-sayup percakapan di teras depan itu didengarnya dengan jelas di bawah rintik hujan. Dia tumbuh dengan peremajaan. Dia malu dengan dekilnya diri tanpa ilmu. Menjunjung egoisme tinggi dengan melenguh. Menghakim spontanitas tanpa berguru. Sia-sia amal nektar di kupu-kupu. “Ah aku jadi malu”. Keluhnya.
Pohon Asoka bersyukur diri, pada sang pencipata Illahi Rabbi. Bersyukur dikenal si Tukang Kebun yang senantiasa merawat disepanjang waktu. Di Penghujung musim ini tubuhnya tumbuh bersemi, menampakkan wangi dan corak indah di bawah mentari dilepas rintik-rintik gerimis pagi. Nampak di cakrawala musim akan berganti menemani pagi bertanda pelangi kan hilang menarik diri. Pak Wahid si tukang kebun juga harus berhati-hati. Di sana, masih di bagian lain halaman ini ada sebatang yang mungkin akan melukai kalau kau tidak berhati-hati. Hati muliamu tetap terpatri di sanubari tautan Illahi, begitu juga ia si mawar berduri.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya semoga menginspirasi jangan lupa tulis komentarmu di kolom komentar dan dapatkan informasi terbaru di setiap postingan. Jangan lupa follow akun Instagram @efrideplin dan Twitter @efrideplin87 juga YouTube Efri Deplin. Terima kasih semoga menginspirasi.